Suatu hari saya diajak teman ke kedai kopi Starbucks, di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Kedai kopi hasil peradaban kapitalis ini, konon katanya menyajikan kopi kualitas terbaik. Tak heran, waralaba asal Amerika Serikat ini membandrol harga puluhan ribu rupiah, bahkan untuk kopi hitam sekalipun.
Aroma kopi semerbak menyelimuti ruang ber-AC, dengan desain minimalis itu. Para barista beraksi mencampur kopi permintaan pelanggan. Sambil menikmati kopi, beberapa pelanggan asik dengan notebook mutakhirnya. Ada yang sekedar iseng membuka jejaring sosial Twitter atau Facebook. Ada juga yang serius mengerjakan pekerjaan kantor.
Di pojok ruangan, sekelompok pemuda santai bercanda, sambil membicarakan keberadaan gerakan separatis di Indonesia. Suara mereka cukup keras. Saya yang duduk di tengah, mendengar jelas pembicaraan mereka.
Mereka bicara soal Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Macam-macam argumennya. Ada yang mengatakan gerakan separatis itu penghianat, tak tahu untung, bahkan ada yang bilang mereka hanyalah pion negara asing. Mereka bicara nasionalisme. Pokoknya, NKRI harga mati.
Bendera OPM |
Saya simpulkan, semua argumen mereka tentang gerakan separatis di Indonesia, adalah argumen orang “Jawa.” Jawa yang saya maksud, bukan merujuk pada suku bangsa. Tapi orang-orang yang tinggal di pulau Jawa. Masyarakat urban yang menikmati pembangunan NKRI dan modernisasi.
Saya, dan sekelompok pemuda itu, beruntung karena bisa tinggal di pulau Jawa yang urban. Terbuai peradaban kapitalis yang sombong dan individualistis. Bisa menikmati secangkir kopi sambil menonton berita perang. Hanya diam melihat foto korban penyiksaan di koran.
Bendera RMS |
Intinya, orang-orang – yang dalam pemberitaan media sering disebut kelompok pemberontak – itu adalah kaum tertindas. Orang tertindas hanya punya dua pilihan; terus ditindas, atau melawan. Orang-orang dalam organisasi macam OPM, RMS, dan GAM memilih untuk melawan. Mereka mencari keadilan untuk diri mereka, dan anak-cucunya.
Beberapa kali saya ikut diskusi membahas gerakan separatis, yang berlandaskan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Semua sepakat, bahwa pembangunan di Indonesia pincang, tidak merata. Hanya Indonesia bagian Barat saja yang dibangun. Sementara Indonesia Timur, hanya diperas tanah dan isi buminya.
Rasa menuntut keadilan itulah, yang memotivasi mereka untuk melawan.
Bendera GAM |
Saya sendiri orang Jawa. Tapi menurut saya, pernyataan orang Aceh ini ada benarnya. Bisa ditelisik dari permohonan referendum gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Andai saja yang minta referendum bukan orang Jawa, pasti pemerintah dan media mainstream langsung melabeli kelompok tersebut sebagai separatis. Ini terbukti dari permohonan referendum Papua. Esensinya referendum, tapi cerita dan endingnya berbeda. Media massa ramai memberitakan OPM sebagai organisasi terlarang.
Kita berpikir NKRI harga mati. Lalu, salahkah jika orang-orang dalam gerakan separatis menempatkan keadilan sebagai harga mati?
Indonesia memang belum menjalankan Pancasila sepenuhnya. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, ditempatkan di sila terakhir. Sementara sila pertama saja, Ketuhanan Yang Maha Esa, belum dijalankan sepenuhnya. Masih banyak rakyat Indonesia yang belum mengakui KeEsaan Tuhan. Indonesia sedang mengalami krisis toleransi antar umat beragama.
Kita sibuk memegang prinsip Bhinneka. Tapi lupa Tunggal Ika.
Advertisement
EmoticonEmoticon